Kamis, 10 Maret 2011

surat untuk SAUDARA-SAUDARAKU

Saudaraku ……………
Hidup memang butuh perjuangan, hidup kecukupan, bahkan berkelimpahan harta benda merupakan idaman bagi orang hidup. Tidak seorangpun ingin hidup serba kekurangan. Hal ini juga terjadi pada diri saya dan Saudaraku.
Perosalan yang harus kita pikirkan sekarang adalah: “sejauh mana ukuran hidup berkecukupan dan hidup yang serba kekurangan?”. Jika parameter yang adalah: hidup layak, terhormat, kaya, berpangkat, cukup secara materi, merupakan standar parameter kehidupan, barangkali Saudaraku harus mengubah pola pikir yang demikian agar kehidupan Saudaraku dapat berkecukupan, bahkan lebih dari cukup.
Saudaraku, marilah kita simak kalimat demi kalimat di bawah ini.
1. Hukum ekonomi mengatakan kebutuhan manusia tidak terbatas, sedangkan sumber yang tersedia sangat terbatas.
Kalimat ini mengisyaratkan bahwa, bila manusia ingin mencukupi kebutuhan hidupnya, sampai kapanpun tidak akan cukup, bahkan setelah meninggalpun kebutuhan itu masih tetap dicari oleh anak cuku dan keturunannya untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Sifat mendasar dari manusia adalah adalah ketamakan untuk berkuasa atas ciptaan Allah yang lain, ia ingin menguasai harta benda, ingin menguasai makhluk lain, dan lain sebagainya.
Kunci kecukupan kebutuhan hidup bahkan lebih dari cukup adalah: “MENGENDALIKAN KEBUTUHAN HIDUP” bukan sebaliknya “DIKENDALIKAN OLEH KEBUTUHAN HIDUP”. Mari kita lihat contoh kongkrit dari Saudara-Saudara kita yang berpenghasilan rendah, tetapi banyak dari Saudara kita justru hidupnya lebih bahagia dari Saudara kita yang hidupnya mewah. Kenapa?. Karena Saudara kita yang berpenghasilan rendah mampu mengendalikan kebutuhan hidup. Sedangkan Saudara kita yang berpenghasilan banyak hidupnya dikendalikan oleh hafa nafsu untuk selalu mencari dan mencari kebutuhan hidup yang tidak pernah berakhir.
2. Mencari nafkah dalam Islam adalah sebuah kewajiban. Islam adalah agama fitrah, yang sesuai dengan kebutuhan manusia, diantaranya kebutuhan fisik. dan, salah satu cara memenuhi kebutuhan fisik itu ialah dengan bekerja. Mencari nafkah dakan ajaran Islam merupakan bagian dari ibadah. Bejerja dalam Islam bukanlah untuk mengejar hidup hedonis, bukan juga untuk status, apa lagi untuk mengejar kekayaan dengan segala cara. Tapi untuk beribadah. Bekerja untuk mencari nafkah adalah hal yang istimewa dalam pandangan Islam. Marilah kita simak beberapa kutipan hadist di bawah ini. Saudaraku bisa melihat bagaimana istimewanya bekerja mencari nafkah menurut sabda Nabi saw.
Sesungguhnya Allah suka kepada hamba yang berkarya dan terampil (professional atau ahli). Barangsiapa bersusah-payah mencari nafkah untuk keluarganya maka dia serupa dengan seorang mujahid di jalan Allah Azza wajalla. (HR. Ahmad).
Barangsiapa pada malam hari merasakan kelelahan dari upaya ketrampilan kedua tangannya pada siang hari maka pada malam itu ia diampuni oleh Allah. (HR. Ahmad)
Mencari rezeki yang halal dalam agama Islam hukumnya wajib. Ini menandakan bagaimana penting mencari rezeki yang halal. Dengan demikian, pekerjaan dalam Islam, bukan hanya memenuhi nafkah semata tetapi sebagai kewajiban beribadah kepada Allah setelah ibadah fardlu lainnya. Hal ini ditegaskan dalam hadist berikut ini.
Mencari rezeki yang halal adalah wajib sesudah menunaikan yang fardhu (seperti shalat, puasa, dll). (HR. Ath-Thabrani dan Al-Baihaqi).
Perlu diperhatikan dalam hadist di atas, ada kata sesudah. Artinya hukumnya wajib sesudah ibadah lain yang fardhu. Jangan sampai karena merasa sudah bekerja, tidak perlu ibadah-ibadah lainnya. Meski kita bekerja, kita tetap wajib melakukan ibadah fardhu seperti shalat, puasa, ibadah haji, zakat, jihad, dan dakwah. Jangan sampai kita terlena dengan bekerja tetapi lupa dengan kewajiban lainnya.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa bekerja merupakan kewajiban bagi kita semua, dan hal itu merupakan perintah Allah Swt. Akan tetapi hendaklah hal itu dikerjakan setelah yang fardhu.
3. Bekerja merupakan suatu kewajiban bagi Manusia, tetapi tujuan utama dalam bekerja adalah urusan duniawi (kaya, terhormat, dll), niscaya akan sia-sia, dan merugi dalam hidupnya. Marilah Saudaraku cermati hadist di bawah ini:
Dari Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu beliau berkata, “Kami mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa yang (menjadikan) dunia tujuan utamanya, maka Allah akan mencerai-beraikan urusannya dan menjadikan kemiskinan/tidak pernah merasa cukup (selalu ada) di hadapannya, padahal dia tidak akan mendapatkan (harta benda) duniawi melebihi dari apa yang Allah tetapkan baginya. Dan barangsiapa yang (menjadikan) akhirat niat (tujuan utama)nya, maka Allah akan menghimpunkan urusannya, menjadikan kekayaan/selalu merasa cukup (ada) dalam hatinya, dan (harta benda) duniawi datang kepadanya dalam keadaan rendah (tidak bernilai di hadapannya).” (HR Ibnu Majah (nο. 4105),
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata (dalam kitab Igaatsatul Lahfaan, 1/37), “Orang yang mencintai dunia (secara berlebihan) tidak akan lepas dari tiga (macam penderitaan): Kekalutan (pikiran) yang selalu menyertainya, kepayahan yang tiada henti, dan penyesalan yang tiada berakhir. Hal ini dikarenakan orang yang mencintai dunia (secara berlebihan) jika telah mendapatkan sebagian dari (harta benda) duniawi maka nafsunya (tidak pernah puas dan) terus berambisi mengejar yang lebih dari pada itu, sebagaimana dalam hadits yang shahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Seandainya seorang manusia memiliki dua lembah (yang berisi) harta (emas), maka dia pasti (berambisi) mencari lembah harta yang ketiga.‘” (HR. al-Bukhari, nο. 6072 dan Muslim, nο. 116).
Dari kalimat-kalimat di atas jelaslah bahwa Allah melalui RosulNya telah memerintahkan kepada kita bahwa JANGANLAH KITA BERAMBISI untuk menumpuk harta benda dan mencari kekayaan duniawi, yang justru menjadikan hidup kita bercerai berai seperti yang tertulis dalam Hadist HR Ibnu Majah (nο. 4105),
“JIKA HIDUPMU MASIH MERASA KURANG DAN MERASA MISKIN, JANGAN SALAHKAN SIAPAPUN, KARENA KEMISKINAN ITU MUNCUL KARENA KITA BELUM MAMPU MENCERNA APA YANG ALLAH PERINTAHKAN DALAM AL-QUR’AN DAN AL-HADIST.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut